Cerutu, Eh...Cigar van Java Itu, Hmmm...
DALAM cerita atau film gangster, mafia Italia atau Amerika Latin,
pasti ada adegan tokoh-tokoh mafia mengisap ceritu, bukan rokok. Dalam
film mafioso, Godfather I, misalnya, kita lihat bagaimana Marlon
Brando sebagai pemeran utama yang kaya raya mengisap cerutu dalam pertemuan-pertemuan
khusus dengan kerabat ataupun keluarga.
DILINTING: Pada tahap pelintingan, pekerja menggunakan
alat untuk melinting tembakau sesuai ukuran masing-masing jenis cerutu,
ada yang dalam bentuk lintingan kecil ada pula yang besar.(72 )
Dalam keseharian, bangsawan keraton juga menjadikan cerutu sebagai
salah satu klangenan. Tanpa mengisap cerutu sspertinya ada sesuatu
yang kurang. Di Kerajaan Inggris, misalnya, sebagian kaum ningrat menjadikan
cerutu bukan hanya sebagai kebutuhan tetapi juga life style, gaya
hidup.
Tak usah jauh-jauh ke negeri seberang, di negeri yang sedang menderita
krisis ini banyak kalangan mulai menjadikan "rokok" yang terbuat
dari lintingan daun tembakau asli tanpa campuran apapun itu sebagai bagian
hidup sehari-hari.
"Memang, saat ini cerutu mulai digandrungi anak-anak muda, selebriti,
profesional, dan pejabat kelas menengah ke atas," ujar Managing Director
PD Taru Martani Yogyakarta, Bimo N Wartono MBA.
Dia menyebut sejumlah nama penikmat cerutu, antara lain Sri Sultan Hamengku
Buwono X, Hermawan Kertajaya, Wali Kota Yogyakarta Heri Zudianto, pengusaha
besar YW Junardy, kerabat Keraton Yogyakarta KGPH Hadiwinoto, dan Dhani
Achmad.
Taru Martani merupakan salah satu dari sedikit pembuat cerutu di Indonesia
yang namanya sudah sedemikian kondang di dalam maupun luar negeri. Bahkan
di Belgia, Netherland, Luxemburg produk Taru Martani sangat dikenal. Barangkali
karena ikatan emosional terhadap negeri ini pada masa penjajahan yang menjadikan
adanya keterkaitan batin tersebut.
Menurut buku Taru Martani Hostory and Heritage, perusahaan itu
berdiri tahun 1918 berlokasi awal di daerah Bulu, Jalan Magelang. Namun
pada tahun 1921 pindah ke Baciro di Jalan Argolobang No 2 A. Pada waktu
itu namanya NV Negresco.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 perusahaan diambil alih Pemerintah
Jepang dan berganti nama menjadi "Jawa Tobbaco Kojo". Dari situ
produksi mulai ekspansi tidak hanya cerutu bermerek "Momo Taro"
tapi juga rokok putih "Mizuho" dan "Koa".
Tahun 1945 saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya, nama itu diganti
lagi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi "Taru Martani",
artinya daun yang menghidupi. Produknya berubah nama menjadi "Daulat"
dan "Abadi". Sayangnya pada tahun 1949 diambil alih lagi oleh
Negresco.
Kota Besar
Gaya hidup bercerutu di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Medan, Riau, Batam, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, menurut pengamatan
Bimo mulai berkembang. Peningkatannya termasuk cukup pesat, tetapi dia
tidak bisa menyebut angka pasti. Hanya saja 1/3 cerutu produk Taru Martani
berpasar di dalam negeri.
Sejak pertama berdiri sampai sekarang produk pabrik tersebut terkenal
dengan sebutan "Cigar van Java". Banyak bule terutama pada musim
liburan mendatangi pabrik sehingga Bimo lantas menggagas agar Taru Martani
bisa menjadi salah satu objek wisata di Yogyakarta.
Kecuali para penikmat, dalam istilah Jawa nggathok, yang mengunjungi
pabrik ada pula penikmat kelas pemula. Bermula dari mencoba-coba akhirnya
jatuh hati, seperti pepatah "tak kenal maka tak sayang".
"Kami menyediakan produk untuk pemula yang harganya sangat terjangkau,
bahkan ada produk tembakau untuk tingwe alias ngelinting dhewe
terutama masyarakat di pinggiran," papar Bimo sambil tersenyum.
Laki-laki tinggi, besar dengan kumis dan jenggot menyambung tersebut
mengungkapkan untuk cerutu dalam negeri dan ekspor berkualitas ada beberapa,
Ramayana dengan jenis antara lain Ramayana Corona, Super Corona dan lainnya.
Produk berikutnya Adipati yang juga ada beberapa macam. Ada lagi Borobudur,
Mundi Victor dan Senator.
Dia menyebutkan, Sultan HB X misalnya, sangat menikmati Adipati, Heri
Zudianto cenderung memilih Mundi Victor. Untuk kelas pemula bermacam-macam
ada yang menyukai Ramayana, Borobudur maupun senator.
Untuk memenuhi keinginan masyarakat pinggiran Taru Martani menyediakan
tembakau irisan dengan harga sangat terjangkau mulai dari Rp 1.750/bungkus.
Nelayan di pesisir sangat menyukai produk tersebut sebab rasa dan aromanya
khas, murah pula.
Di Yogyakarta, sejumlah mahasiswa mulai menjadi penikmat pemula. Agung,
mahasiswa sebuah PTS mengungkapkan baru beberapa bulan menyenangi mengisap
cerutu. Mula-mula hanya ikut teman-temannya tapi kemudian mencoba menjadi
penikmat.
"Mengisap cerutu tidak seperti merokok bisa satu atau dua bungkus
sehari, paling satu batang cerutu untuk sehari paling banyak tiga, itu
saja rasanya sudah hmmm..." ujarnya sembari mengisap cerutu Borobudur
yang harganya tidak terlalu mahal.
Diakuinya image masyarakat tentang cerutu memang masih untuk
kalangan menengah ke atas. Namun sebenarnya ada produk-produk tertentu
yang bisa terjangkau dari sisi keuangan. Banyak di antara produk Taru Martani
di bawah Rp 30.000.
Namun Bimo yakin satu saat, bahkan sekarang sudah mulai, penikmat cerutu
akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan gaya hidup. Tak hanya
di kota-kota besar tapi juga di pinggiran. Ingin mencoba? Untuk pemula
saran Bimo berhenti merokok dulu sekitar dua-tiga bulan baru kemudian mengisap
cerutu.
"Anda baru akan benar-benar menikmati cigar van Java setelah
beberapa lama menghentikan rokok dan menggantinya dengan cerutu,"
tuturnya.
Gaya hidup bercerutu juga direspons oleh PT Djarum melalui produk cerutu
Dos Hermanos. Cerutu ini membidik segmen ekspartriat (pekerja asing) di
Indonesia. Selain itu, kalangan eksekutif mapan di Indonesia juga menjadi
target pemasaran produk yang sebelumnya lebih banyak untuk pasar ekspor
tersebut. "Pasar ekspor khususnya Amerika Serikat saat ini memang
sedang sepi. Karena itu, kami akan menggenjot pasar lokal," kata Marketing
Officer Nugroho Widjaja saat melakukan demo pembuatan cerutu di Hotel Patra
Jasa, beberapa waktu silam.
Menurut dia, pasar dalam negeri sangat berpotensi untuk pemasaran produk
tersebut. Sebab, selama ini segmen produk cerutu masih belum banyak tergarap.
"Memang ada produk serupa, tetapi sebagian besar produk impor. Karena
itu, kami yakin produk ini akan banyak diserap pasar," ujarnya optimistis.
Pada saat itu Area Manajer PT Djarum Prijanto Juwono mengatakan, menghisap
cerutu memang belum banyak dijumpai di masyarakat. Produk itu dikenal sejak
Christoper Columbus menginjakkan kaki pertama kali di Cuka pada 1492. Kini
cerutu dikonsumsi tokoh-tokoh terkemuka dan selebriti dunia. Bahkan, tren
perilaku bercerutu menjadi simbol dan lambang status yang menempatkan konsumennya
pada tingkat kehidupan sosial tertentu. "Jadi, tak mengherankan jika
PT Djarum memopulerkannya di Indonesia dengan merek Dos Hermanos.
Malah produknya itu dipasarkan di kota-kota besar Indonesia termasuk
Yogyakarta, Solo, dan Semarang sejak 1999 dan dijual di hotel-hotel berbintang.
Semula perusahaan rokok itu memproduksi long filter cigars untuk
ekspor. Untuk keperluan itu dikirimkan beberapa personel melakukan studi
di Honduras dan Amerika Serikat. Hasilnya, produksi cerutu itu diluncurkan
1997. Karena kualitas yang baik, cerutu buatan Djarum tersebut diterima
luas di AS termasuk Belgia, Belanda, Australia, dan negara-negara Asean.
Hanya, khusus Asean, masyarakatnya cenderung memilih short filter
dengan merek Gold Seal dan kini mulai dipasarkan di dalam negeri. Apakah
Anda juga sudah beralih ke cerutu? (Agung PW-72)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/12/nas6.htm
Jumat, 16 Maret 2012
Mafia dan Cerutu Khas
00.05
0 comments
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.